HUBUNGAN PEMBERIAN TERAPI HIPERBARIK
OKSIGEN DENGAN PERBAIKAN KUALITAS PENDENGARAN PADA PASIEN TINNITUS DI RSAL DR.
F. X. SUHARDJO AMBON PERIODE JANUARI 2015 – AGUSTUS 2017
Makalah dibuat sebagai
persyaratan untuk Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat
Oleh
:
Emilly
Vidya A. Relmasira, S Ked (2009-83-050)
Pembimbing
:
LetkolLaut
(K) dr. Hisnindarsyah, SE.,M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Tinnitus
adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya
rangsangan dari luar, dapat beruba sinyal mekanoakustik maupun listrik. Keluhan
ini dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, atau berbagai macam bunyi
lainnya. Tinitus sendiri dapat dirasakan terus-terusan ataupun hilang timbul. Berdasarkan data
epidemiologi, didapati prevalensi tinitus pada orang dewasa secara konstan
yakni sebesar 10 sampai 15 persen dari populasi dunia. Namun, ditemukan
peningkatan menjadi 29.6−30.3% pada orang tua. Prevalensi tinitus meningkat
mencapai 70%-80% pada orang yang mengalami gangguan pendengaran. Studi
epidemiologi mengatakan tinnitus dapat dialami baik perempuan maupun laki-laki
dan pada semua ras.
Tinitus memiliki efek
yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Tinitus dapat disertai
dengan depresi, kecemasan, insomnia, dan sakit kepala Beberapa penderita juga
menjadi mudah tersinggung. Prevalensi tinitus dengan ganguan tidur terjadi
antara 25% dan 60%. Terapi oksigen
hiperbarik bertujuan untuk meningkatkan jumlah molekul oksigen yang masuk ke
dalam tubuh melaui pernafasan maupun pori-pori atau luar tubuh. Dengan
meningkatnya oksigen yang dihirup, maka jumlah oksigen yang terlarut di dalam
darah semakin meningkat. Oksigen diangkut oleh darah ke seluruh sel-sel dan
jaringan-jaringan tubuh. Peningkatan tekanan oksigen di koklea mempengaruhi
sel-sel sensorik dari telinga bagian dalam dan dapat mengkompensasi kekurangan
oksigen yang disebabkan oleh trauma dan menimbulkan mekanisme biologis yang
terlibat dalam pemulihan fungsional. Dengan demikian, kebanyakan studi menunjukkan bahwa
HBOT adalah yang paling efektif dalam mengurangi kehilangan pendengaran dan
tinnitus pada tiga bulan pertama setelah kehilangan pendengaran atau trauma
akustik.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka melalui peneitian ini, peneliti ingin mengetahui
“hubungan pemberian terapi oksigen hiperbarik pada perbaikan kualitas
pendengarann pada pasien tinnitus di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr. F.
X> Suhardjo Ambon periode Januari 2015 – Agustus 2017.
1.3.Tujuan
Penulisan
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pemberian terapi oksigen
hiperbarik pada perbaikan kualitas pendengaran pasien tinnitus.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
TINNITUS
a.
Definisi
Tinitus adalah salah
satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan
dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik maupun listrik. Keluhan suara yang
di dengar sangat bervariasi, dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis,
mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya. Suara yang didengar dapat bersifat
stabil atau berpulsasi. Keluhan tinitus dapat dirasakan unilateral dan
bilateral.
Serangan tinitus dapat
bersifat periodik ataupun menetap. Kita sebut periodik jika serangan yang
datang hilang timbul. Episode periodik lebih berbahaya dan mengganggu
dibandingkan dengan yang berifat menetap. Hal ini disebabkan karena otak tidak
terbiasa atau tidak dapat mensupresi bising ini. Tinitus pada beberapa orang
dapat sangat mengganggu kegiatan sehari-harinya. Terkadang dapat menyebabkan
timbulnya keinginan untuk bunuh diri.1
Tinitus dapat dibagi
atas tinnitus objektif dan tinnitus subjektif. Dikatakan tinnitus objektif jika
suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dan dikatakan tinnitus subjektif
jika tinnitus hanya dapat didengar oleh penderita.
b.
Klasifikasi
Tinitus terjadi akibat
adanya kerusakan ataupun perubahan pada telinga luar, tengah, telinga dalam
ataupun dari luar telinga. Berdasarkan letak dari sumber masalah, tinitus dapat
dibagi menjadi tinitus otik dan tinitus somatik. Jika kelainan terjadi pada
telinga atau saraf auditoris, kita sebut tinitus otik, sedangkan kita sebut
tinitus somatik jika kelainan terjadi di luar telinga dan saraf tetapi masih di
dalam area kepala atau leher. Berdasarkan objek yang mendengar, tinitus dapat
dibagi menjadi tinitus objektif dan tinitus subjektif.
1. Tinitus
Objektif
Tinitus objektif adalah
tinitus yang suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dengan auskultasi di
sekitar telinga. Tinitus objektif biasanya bersifat vibratorik, berasal dari
transmisi vibrasi sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar telinga.
Umumnya tinitus
objektif disebabkan karena kelainan vaskular, sehingga tinitusnya berdenyut
mengikuti denyut jantung. Tinitus berdenyut ini dapat dijumpai pada pasien
dengan malformasi arteriovena, tumor glomus jugular dan aneurisma. Tinitus
objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik yang berhubungan dengan
penyakit sendi temporomandibular dan karena kontraksi spontan dari otot telinga
tengah atau mioklonus palatal. Tuba Eustachius paten juga dapat menyebabkan
timbulnya tinitus akibat hantaran suara dari nasofaring ke rongga tengah.2,3
2. Tinitus
Subjektif
Tinnitus objektif
adalah tinnitus yang suaranya hanya dapat didengar oleh penderita saja. Jenis
ini sering sekali terjadi.tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan
oleh proses iritatif dan perubahan degeneratif traktus auditoris mulai sel-sel
rambut getar sampai pusat pendengaran.
Tinitus subjektif
bervariasi dalam intensitas dan frekuensi kejadiannya. Beberapa pasien dapat
mengeluh mengenai sensasi pendengaran dengan intensitas yang rendah, sementara
pada orang yang lain intensitas suaranya mungkin lebih tinggi.2
Berdasarkan kualitas
suara yang didengar pasien ataupun pemeriksa, tinitus dapat dibagi menjadi
tinitus pulsatil dan tinitus nonpulsatil.
a. Tinitus Pulsatil
Tinitus pulsatil adalah tinitus yang
suaranya bersamaan dengan suara denyut jantung. Tinitus pulsatil jarang dimukan
dalam praktek sehari-hari. Tinitus pulsatil dapat terjadi akibat adanya
kelainan dari vaskular ataupun di luar vaskular. Kelaianan vaskular digambarkan
dengan sebagai bising mendesis yang sinkron dengan denyut nadi atau denyut
jantung. Sedangkan tinitus nonvaskular digambarkan sebagai bising klik, bising
goresan atau suara pernapasan dalam telinga. Pada kedua tipe tinitus ini dapat
kita ketahui dengan mendengarkannya menggunakan stetoskop.
b. Tinitus Nonpulsatil
Tinitus jenis ini
bersifat menetap dan tidak terputuskan. Suara yang dapat didengar oleh pasien
bervariasi, mulai dari suara yang berdering, berdenging, berdengung, berdesis,
suara jangkrik, dan terkadang pasien mendengarkan bising bergemuruh di dalam
telinganya.
Biasanya tinitus ini lebih didengar pada
ruangan yang sunyi dan biasanya paling menganggu di malam hari sewaktu pasien
tidur, selama siang hari efek penutup kebisingan lingkungan dan aktivitas
sehari-hari dapat menyebabkan pasien tidak menyadari suara tersebut.
c.
Etiologi
Tinitus paling banyak
disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga dalam. Terutama kerusakan dari
koklea. Secara garis besar, penyebab tinitus dapat berupa kelainan yang
bersifat somatik, kerusakan N. Vestibulokoklearis, kelainan vascular, tinitus
karena obat-obatan, dan tinitus yang disebabkan oleh hal lainnya.2
1. Tinitus
karena kelainan somatik daerah leher dan rahang
a. Trauma
kepala dan Leher
Pasien dengan cedera
yang keras pada kepala atau leher
mungkin akan mengalami tinitus yang sangat mengganggu. Tinitus karena cedera
leher adalah tinitus somatik yang paling umum terjadi. Trauma itu dapat berupa
Fraktur tengkorak, Whisplash injury.3
b. Artritis
pada sendi temporomandibular (TMJ)
Berdasarkan hasil
penelitian, 25% dari penderita tinitus di Amerika berasal dari artritis sendi
temporomandibular.4 Biasanya orang dengan artritis TMJ akan
mengalami tinitus yang berat. Hampir semua pasien artritis TMJ mengakui bunyi
yang di dengar adalah bunyi menciut. Tidak diketahui secara pasti hubungan
antara artritis TMJ dengan terjadinya tinitus.
2. Tinitus
akibat kerusakan n. Vestibulokoklearis
Tinitus juga
dapat muncul dari kerusakan yang terjadi di saraf yang menghubungkan antara
telinga dalam dan kortex serebri bagian pusat pendengaran. Terdapat beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan dari n. Vestibulokoklearis,
diantaranya infeksi virus pada n.VIII, tumor yang mengenai n.VIII, dan Microvascular compression syndrome
(MCV). MCV dikenal juga dengan vestibular paroxysmal. MCV menyebabkan kerusakan
n.VIII karena adanya kompresi dari pembuluh darah. Tapi hal ini sangat jarang
terjadi.
3. Tinitus
karena kelainan vascular
Tinitus yang di
dengar biasanya bersifat tinitus yang pulsatil. Akan didengar bunyi yang
simetris dengan denyut nadi dan detak jantung. Kelainan vaskular yang dapat
menyebabkan tinitus diantaranya:
a. Atherosklerosis
Dengan bertambahnya
usia, penumpukan kolesterol dan bentuk-bentuk deposit lemak lainnya, pembuluh
darah mayor ke telinga tengah kehilangan sebagian elastisitasnya. Hal ini
mengakibatkan aliran darah menjadi semakin sulit dan kadang-kadang mengalami
turbulensi sehingga memudahkan telinga untuk mendeteksi iramanya.
b. Hipertensi
Tekanan darah yang
tinggi dapat menyebabkan gangguan vaskuler pada pembuluh darah koklea terminal.
c. Malformasi
kapiler
Sebuah kondisi yang
disebut AV malformation yang terjadi
antara koneksi arteri dan vena dapat menimbulkan tinitus.
d. Tumor
pembuluh darah
Tumor pembuluh darah
yang berada di daerah leher dan kepala juga dapat menyebabkan tinitus. Misalnya
adalah tumor karotis dan tumor glomus jugulare dengan ciri khasnya yaitu
tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa adanya gangguan pendengaran.
Ini merupakan gejala yang penting pada tumor glomus jugulare.
4. Tinitus
karena kelainan metabolik
Kelainan metabolik juga
dapat menyebabkan tinitus. Seperti keadaan hipertiroid dan anemia (keadaan
dimana viskositas darah sangat rendah) dapat meningkatkan aliran darah dan
terjadi turbulensi. Sehingga memudahkan telinga untuk mendeteksi irama, atau
yang kita kenal dengan tinitus pulsatil.
Kelainan metabolik
lainnya yang bisa menyebabkan tinitus adalah defisiensi vitamin B12, begitu
juga dengan kehamilan dan keadaan hiperlipidemia.
5. Tinitus
akibat kelainan neurologis
Yang paling umum
terjadi adalah akibat multiple sclerosis.
multiple sclerosis adalah proses
inflamasi kronik dan demyelinisasi yang mempengaruhi system saraf pusat. Multiple sclerosis dapat menimbulkan
berbagai macam gejala, di antaranya kelemahan otot, indra penglihatan yang
terganggu, perubahan pada sensasi, kesulitan koordinasi dan bicara, depresi,
gangguan kognitif, gangguan keseimbangan dan nyeri, dan pada telinga akan
timbul gejala tinitus.
6. Tinitus
akibat kelainan psikogenik
Keadaan gangguan
psikogenik dapat menimbulkan tinitus yang bersifat sementara. Tinitus akan
hilang bila kelainan psikogeniknya hilang. Depresi, anxietas dan stress adalah
keadaan psikogenik yang memungkinkan tinitus untuk muncul.
7. Tinitus
akibat obat-obatan
Obat-obatan yang dapat
menyebabkan tinitus umumnya adalah obat-obatan yang bersifat ototoksik.
Diantaranya :
a. Analgetik, seperti
aspirin dan AINS lainnya
b. Antibiotik, seperti
golongan aminoglikosid (mycin), kloramfenikol, tetrasiklin, minosiklin.
c. Obat-obatan kemoterapi, seperti
Belomisisn, Cisplatin, Mechlorethamine, methotrexate,vinkristin
d. Diuretik, seperti
Bumatenide, Ethacrynic acid, Furosemide
e. lain-lain, seperti
Kloroquin, quinine, Merkuri, Timah
8. Tinitus
akibat gangguan mekanik
Gangguan mekanik
juga dapat menyebabkan tinitus objektif, misalnya pada tuba eustachius yang
terbuka sehingga ketika kita bernafas akan menggerakkan membran timpani dan
menjadi tinitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius
serta otot-otot palatum juga akan menimbulkan tinitus.
9. Tinitus
akibat gangguan konduksi
Gangguan
konduksi suara seperti infeksi telinga luar (sekret dan oedem), serumen
impaksi, efusi telinga tengah dan otosklerosis juga dapat menyebabkan tinitus.
Biasanya suara tinitusnya bersifat suara dengan nada rendah.
10. Tinitus
akibat sebab lainnya
a. Tuli akibat bising
Disebabkan
terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Umumnya terjadi pada kedua telinga. Terutama bila intensitas
bising melebihi 85db, dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran
korti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti untuk
reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000Hz sampai dengan 6000Hz. Yang terberat kerusakan
alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000Hz.
b. Presbikusis
Tuli saraf
sensorineural tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun, simetris kanan dan
kiri, presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000Hz atau lebih. Umumnya
merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga berhubungan dengan
faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, aterosklerosis, infeksi,
bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran
berangsur dan kumulatif. Progresivitas penurunan pendengaran lebih cepat pada
laki-laki disbanding perempuan.
c. Sindrom Meniere
Penyakit ini gejalanya
terdiri dari tinitus, vertigo dan tuli sensorineural. Etiologi dari penyakit
ini adalah karena adanya hidrops endolimf, yaitu penambahan volume endolimfa,
karena gangguan biokimia cairan endolimfa dan gangguan klinik pada membrane
labirin1
d.
Epidemiologi
Sekitar sepertiga dari
seluruh orang di dunia pernah mengalami tinnitus setidaknya sekali dalam hidup
mereka. Prevalensi tinnitus pada orang dewasa di seluruh dunia diaporkan antara
10,1% - 14,5%. Kondisi tersebut banyak ditemukan pada umur 40-70 tahun.
Insidensi tinnitus di seluruh dunia sebanyak 5,7%-7% pertahun. Prevalensi
tinnitus pada orang-orang yang terpajan dengan kebisingan lebih besar di antara
populasi lain. Di Amerika, tinnitus terjadi pada sekitaar 50 juta orang, dan 10
juta di antaranya menjadi lebih parah. Keadaan ini juga terjadi pada 300 – 600
juta orang di seluruh dunia. Tidak ada perbedaan insidens antara tinnitus
menurut jenis kelamin atau ras.
e.
Patofisiologi
Gelombang suara yang
dari liang telinga diterukan ke telinga tengah dan telinga dalam, sel rambut
yang merupakan bagian dari koklea akan membantu mentransfomasikan gelombang
suara menjadi signal listrik ke korteks auditori melalui nervus auditoris.
Tetapi apabila sel rambut rusak akibat suara keras, obat ototoksik, maka
sirkuit dariotak tidak menerima signal yang diharpkan sehingga menstimulasi
aktivitas normal dari neuron yang menghasilkan ilusi dari suara atau tinnitus.
Pada tinnitus terjadi
aktivitas elektrik pada area auditoris yang menimbulkan perasaan adanya bunyi,
namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang
ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh
pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan
telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada
rendah seperti gemuruh atau nada tinggi seperti berdenging. Tinitus dapat terus
menerus atau hilang timbul. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli
sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan
oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai
dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut (tinnitus pulsati).
Tinnitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi
pada sumbatan liang telinga karena serumen, tuba kotor, otitis media, tumor,
otosklerosis dan lain-lainnya. Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa
gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting apda tumor glomus
jugulare. Tinitus objektif sering ditimbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya
seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. 1,2
Kejang klonus
muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-otot palatum dapat
menimbulkan tinitus objektif. Bila ada gangguan vaskuler di telinga tengah,
seperti tumor karotis (carotid body tumor),
maka suara aliran darah akan mengakibatkan tinitus juga. Pada intoksikasi obat
seperti salisilat, kina, streptomisin, dehidro-streptomisin, garamisin,
digitalis, kanamisin, dapat terjadi tinitus nada tinggi, terus menerus atupun
hilang timbul. Pada hipertensi endolimfatik, seperti penyakit meniere dapat
terjadi tinitus pada nada rendah atau tinggi, sehingga terdengar bergemuruh
atau berdengung. Gangguan ini disertai dengan vertigo dan tuli sensorineural.
Gangguan vaskuler
koklea terminal yang terjadi pada pasien yang stres akibat gangguan
keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme atau saat
hamil dapat juga timbul tinitus dan gangguan tersebut akan hilang bila keadaannya
sudah normal kembali
f.
Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis adalah hal
yang sangat membantu dalam penegakan diagnosis tinitus. Dalam anamnesis banyak
sekali hal yang perlu ditanyakan, diantaranya:
§ Kualitas
dan kuantitas tinitus
§ Lokasi,
apakah terjadi di satu telinga ataupun di kedua telinga
§ Sifat
bunyi yang di dengar, apakah mendenging, mendengung, menderu, ataupun mendesis
dan bunyi lainnya
§ Apakah
bunyi yang di dengar semakin mengganggu di siang atau malam hari
§ Gejala-gejala
lain yang menyertai seperti vertigo dan gangguan pendengaran serta
gangguan neurologik lainnya.
§ Lama
serangan tinitus berlangsung, bila berlangsung hanya dalam satu menit dan
setelah itu hilang, maka ini bukan suatu keadaan yang patologik, tetapi jika
tinitus berlangsung selama 5 menit, serangan ini bias dianggap patologik.
§ Riwayat
medikasi sebelumnya yang berhubungan dengan obat-obatan dengan sifat ototoksik
§ Kebiasaan
sehari-hari terutama merokok dan meminum kopi
§ Riwayat
cedera kepala, pajanan bising, trauma akustik
§ Riwayat
infeksi telinga dan operasi telinga
Umur dan jenis kelamin
juga dapat memberikan kejelasan dalam mendiagnosis pasien dengan tinitus.
Tinitus karena kelainan vaskuler sering terjadi pada wanita muda, sedangkan
pasien dengan myoklonus palatal sering terjadi pada usia muda yang dihubungkan
dengan kelainan neurologi.
Pada tinitus subjektif
unilateral perlu dicurigai adanya kemungkinan neuroma akustik atau trauma
kepala, sedangkan bilateral kemungkinan intoksikasi obat, presbikusis, trauma
bising dan penyakit sistemik. Jika pasien susah untuk mendeskripsikan apakah
tinitus berasal dari telinga kanan atau telinga kiri, hanya mengatakan di
tengah kepala, kemungkinan besar terjadi kelainan patologis di saraf pusat,
misalnya serebrovaskuler, siringomelia dan sklerosis multipel.
Kelainan patologis pada
putaran basal koklea, saraf pendengar perifer dan sentral pada umumnya bernada
tinggi (mendenging). Tinitus yang bernada rendah seperti gemuruh ombak adalah
ciri khas penyakit telinga koklear (hidrop endolimfatikus).
2. Pemeriksaan
fisik dan penunjang
Gambar
1. Alur diagnosis tinnitus
Pemeriksaan fisik pada
pasien dengan tinitus dimulai dari pemeriksaan auskultasi dengan menggunakan
stetoskop pada kedua telinga pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan
apakah tinitus yang didengar pasien bersifat subjektif atau objektif. Jika
suara tinitus juga dapat didengar oleh pemeriksa, artinya bersifat subjektif,
maka harus ditentukan sifat dari suara tersebut. jika suara yang didengar
serasi dengan pernapasan, maka kemungkinan besar tinitus terjadi karena tuba
eustachius yang paten. Jika suara yang di dengar sesuai dengan denyut nadi dan
detak jantung, maka kemungkinan besar tinitus timbul karena aneurisma, tumor
vaskular, vascular malformation, dan venous hum. Jika suara yang di dengar
bersifat kontinua, maka kemungkinan tinitus terjadi karena venous hum atau emisi akustik yang terganggu.2,4
Pada tinitus subjektif,
yang mana suara tinitus tidak dapat didengar oleh pemeriksa saat auskultasi,
maka pemeriksa harus melakukan pemeriksaan audiometri. Hasilnya dapat beragam,
di antaranya:
§ Normal,
tinitus bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya.
§ Tuli
konduktif, tinitus disebabkan karena serumen impak, otosklerosis ataupun otitis
kronik.
§ Tuli
sensorineural, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometri). Hasil tes BERA, bisa normal
ataupun abnormal. Jika normal, maka tinitus mungkin disebabkan karena terpajan
bising, intoksikasi obat ototoksik, labirinitis, meniere, fistula perilimfe
atau presbikusis. Jika hasil tes BERA abnormal, maka tinitus disebabkan karena
neuroma akustik, tumor atau kompresi vaskular.
Jika tidak ada
kesimpulan dari rentetan pemeriksaan fisik dan penunjang di atas, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa CT scan ataupun MRI. Dengan pemeriksaan
tersebut, pemeriksa dapat menilai ada tidaknya kelainan pada saraf pusat.
Kelainannya dapat berupa multipel sklerosis, infark dan tumor.
g. Penatalaksanaan
Penatalaksaan tinitus
merupakan masalah yang kompleks dan merupakan fenomena psikoakustik murni,
sehingga tidak dapat diukur.
Perlu diketahuinya
penyebab tinitus agar dapat diobati sesuai penyebabnya, namun kadang-kadang
penyebab itu sukar diketahui.
Penatalaksanaan
bertujuan untuk mengurangi keparahan akibat tinitus. Pada tinitus yang jelas
diketahui penyebabnya baik lokal maupun sistemik, biasanya tinitus dapat
dihilangkan bila penyebabnya dapat diobati. Pasien tinitus sering sekali tidak
diketahui penyebabnya, jika tidak tahu penyebabnya, pemberian antidepresan dan
antiansietas sangat membantu mengurangi tinitus. Hal ini dikemukakan oleh Dobie
RA, 1999. Obat-obatan yang biasa dipakai diantaranya Lorazepam atau klonazepam
yang dipakai dalam dosis rendah, obat ini merupakan obat golongan
benzodiazepine yang biasanya digunakan sebagai pengobatan gangguan
kecemasan. Obat lainnya adalah
amitriptyline atau nortriptyline yang digunakan dalam dosis rendah juga, obat
ini adalah golongan antidepresan trisiklik.4
Pasien yang menderita
gangguan ini perlu diberikan penjelasan yang baik, sehingga rasa takut tidak
memperberat keluhan tersebut. Obat penenang atau obat tidur dapat diberikan
saat menjelang tidur pada pasien yang tidurnya sangat terganggu oleh tinitus
itu. Kepada pasien harus dijelaskan bahwa gangguan itu sukar diobati dan
dianjurkan agar beradaptasi dengan gangguan tersebut.
Penatalaksanaan terkini
yang dikemukakan oleh Jastreboff, berdasar pada model neurofisiologinya adalah
kombinasi konseling terpimpin, terapi akustik dan medikamentosa bila
diperlukan. Metode ini disebut dengan Tinnitus
Retraining Therapy. Tujuan dari terapi ini adalah memicu dan menjaga reaksi
habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan yang mengganggu.
Habituasi diperoleh sebagai hasil
modifikasi hubungan system auditorik ke sistem limbik dan system saraf
otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi
dapat memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi terhadap
suara.
TRT biasanya digunakan
jika dengan medikasi tinitus tidak dapat dikurangi atau dihilangkan. TRT adalah
suatu cara dimana pasien diberikan suara lain sehingga keluhan telinga
berdenging tidak dirasakan lagi. Hal ini bisa dilakukan dengan mendengar suara
radio FM yang sedang tidak siaran, terutama pada saat tidur. Bila tinitus
disertai dengan gangguan pendengaran dapat diberikan alat bantu dengar yang
disertai dengan masking.5
TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk
mengidentifikasi masalah dan keluhan pasien. Menentukan pengaruh tinitus dan
penurunan toleransi terhadap suara sekitarnya, mengevakuasi kondisi emosional
pasien, mendapatkan informasi untuk memberikan konseling yang tepat dan membuat
data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi terapi.
Pada
umumnya pengobatan gejala tinitus dibagi dalam 4 cara, yaitu:
1. Psikologik,
dengan memberikan konsultasi psikolgik untuk meyakinkan pasien bahwa
penyakitnya tidak membahayakan
2. Elektrofisiologik,
yaitu memberi stimulus elektro akustik dengan intensitas suara yang lebih keras
dari tinitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau tinitus masker
3. Terapi
medikamentosa sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas diantaranya vasodilator
untuk meningkatkan aliran darah koklea, tranquilizer, antidepresan sedatif,
neurotonik, vitamin dan mineral.5
4. Tindakan
bedah dilakukan pada tumor akustik neuroma
Terapi oksigen
hiperbarik dengan menempatkan pasien di ruang bertekanan oksigen murni,
tujuannya adalah untuk meningkatkan aliran oksigen ke telingan dan otak. Hal
ini dapat membantu seseorang dengan tinnitus.
Terapi edukasi juga dapat kita
berikan ke pasien. Diantaranya:
-
Hindari suara keras yang dapat
memperberat tinitus.
-
Kurangi makanan bergaram dan berlemak
karena dapat meningkatkan tekanan darah yangmerupakan salah satu penyebab
tinitus.
-
Hindari faktor-faktor yang dapat
merangsang tinitus seperti kafein dan nikotin
-
Hindari obat-obatan yang bersifat
ototoksik
-
Tetap biasakan berolah raga, istarahat
yang cukup dan hindari kelelahan
2.2.
TERAPI
OKSIGEN HIPERBARIK
Terapi
oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen dengan tekanan lebih dari 1 (satu)
atmosfer, dilakukan dalam Ruangan Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Pada umumnya
oksigen hiperbarik diberikan dengan tekanan 2-3 ATA tergantung dari jenis
penyakitnya. Oksigen 100 % diberikan dengan menggunakan masker, sementara gas
di sekitar tubuh merupakan udara normal yang terkompresi pada tekanan yang
sama. Di dalam RUBT posisi penderita bisa duduk atau berbaring.6
Dasar dari terapi
hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori Toricelli yang
mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm adalah 760
mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang terkandung
di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2) 21%. Dalam
pernafasan kita pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen ruangan yang
disediakan mengandung Oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga berdasarkan
teori fisika dasar dari hukum-hukum Dalton, Boyle, Charles dan Henry.
Sedangkan prinsip yang
dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya O2 pada tingkat seluler akan
menyebabkan gangguan kehidupan pada semua organisme. Oksigen yang berada
di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh melalui cara pertukaran gas.
Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi,
utilisasi dan difusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang
tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme
mendapatkan kondisi yang optimal.
Aspek fisiologis
oksigen hiperbarik:
-
Transport
oksigen dalam darah: Pada keadaan nornal
kira-kira 97% oksigen (19.4 vol%) diangkut oleh hemoglobin dari paru-paru ke
jaringan, 3% sisanya diangkut dalam bentuk terlarut dalam plasma darah. Dengan
demikian pada keadaan normal, oksigen dibawa ke jaringan hampir seluruhnya oleh
hemoglobin
-
Jumlah
oksigen yang diangkut Hemoglobin: 1 (satu) gram
Hb dapat mengikat 1.34 ml O2, konsentrasi normal Hb +/- 15 gram per 100 ml
darah. Bila saturasi HB 100 %, maka 100 ml darah dapat mengangkut 20,1 ml O2
yang terikat pada Hb (20,1 vol %)
-
Pengaruh
hiperbarik terhadap kelarutan O2 dalam darah:
Pada tekanan normal, oksigen yang larut dalam drah hanya sedikit (0.32 vol %).
Tetapi dalam keadaan hiperbarik, misalnya pada tekanan 2,8 ATA dimana PO2
arterial mencapai +/- 2000 mmHg sehingga oksigen yang larut dalam plasma adalah
sebesar +/- 6.4 vol % yang cukup untuk memberi hidup meskipun tidak ada
hemoglobin (life without blood). Pada
keadaan normal (istirahat) kebutuhan oksigen jaringan adalah 5 vol %.7,8
-
Dasar
pemikiran pemakaian terapi dengan oksigen hiperbarik: Hiperoksigenasi
akan memperbaiki daerah-daerah iskemik/hipoksia, mempertahankan dan memperbaiki
fungsi sel-sel. Keadaan vasokonstriksi dapat mengurangi edema jaringan.
Indikasi terapi hiperbarik oksigen penting pada kasus-kasus yang berkaitan
dengan insufisiensi vaskuler.6,7
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Chamber Hiperbarik Oksigen RSAL dr.
F. X. Suhardjo pada bulan Agustus 2017
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis
penelitian Deskriptif Analitik. Penelitian
ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder. Yaitu berupa catatan rekam
medis pasien tinnitus yang menggunakan terapi hiperbarik di RSAL dr. F. X.
Suhardjo Ambon pada Januari 2015 – Agustus 2017.
3.3. Populasi dan
Sampel
Populasi adalah seluruh pasien yang menjalani terapi oksigen
hiperbarik pada januari 2015 – Agustus 2017. Teknik pengambilan sampel yaitu
dengan total sampling yaitu semua pasien tinnitus yang menjalani terapi HBO2
pada Januari 2015 – Agustus 2017 yaitu sebanyak 10 pasien
3.4. Kriteria Inklusi
dan Eksklusi
Kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah pasien tinnitus yang menjalani dengan
berbagai sesi terapi hiperbarik Oksigen periode januari 2015-agustus 2017.
Kriteria Eksklusi adalah pasien yang menjalani Terapi OHB namun bukan
pasien tinnitus.
3.5. Anaisis Data
Teknik analisa data yang digunakan yaitu secara
komputerisasi dengan Software Packages For Social Sciences (SPSS) for
windows SPSS versi 20.0. Analisa yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut :
a.
Analisa
Univariat
Analisa
Data secara Univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik dari variabel
independen dan variabel dependen. Hasil dari analisis variabel kategorik adalah
jumlah dan persen. Penyajian data hasil analisis univariat dalam bentuk tabel
disertai deskriptif.
b.
Analisis
Bivariat.
Analisis
bivariat dilakukan untuk menguji hubungan variabel bebas (Pemberian terapi HBO)
dengan variabel terikat (Perbaikan Klinis). Analisis ini menggunakan uji Chi-Square dengan
tingkat kemaknaan = 0,05.
Gambar
2. Rumus Chi-Square
Keterangan
:
X2
: Nilai Chi-kuadrat
fe
: Frekuensi yang diharapkan
f0
: frekuensi yang diperoleh
Interpretasi nilai p yaitu hasil uji
statistik menunjukan p < 0,05 maka hipotesis diterima sehingga ada hubungan
yang bermakna antara variabel bebas dan variabel terikat dan bila nilai p >
0,05 maka hipotesis ditolak sehingga tidak ada hubungan yang bermakna antara
variabel bebas dan variabel terikat.
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
4.1.1. Distribusi Perbaikan
Kuailitas Pendengaran Penderita Tinnitus Sesudah Terapi Dengan Hiperbarik
Oksigen
Setelah
dilakukan terapi dengan hiperbarik pada 10 pasien tinnitus didapatkan bahwa
sebanyak 9 orang merasakan ada perbaikan (90%) dan 1 orang merasakan tidak perbaikan
(10%).
Tabel 1. Distribusi Perbaikan Kualitas Pendengaran
Penderita Tinnitus Setelah Terapi HBO
Hasil
setelah terapi HBO
|
Jumah
(n)
|
Presentase
(%)
|
Ada
perbaikan
|
9
|
90.00
|
Tidak
ada perbaikan
|
1
|
10.00
|
TOTAL
|
10
|
100.00
|
Gambar
3. Grafik Distribusi Perbaikan Kualitas Pendengaran Penderita Tinnitus Setelah
Terapi HBO
4.1.2. Hubungan Pemberian Terapi Hiperbarik Oksigen Pada Perbaikan
Kualitas Pendengarann pasien Tinnitus
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah
pasien tinnitus yang menjalani terapi Hiperbarik Oksigen adalah sebanyak 10
pasien dimana setelah dilakukan terapi ditemukan adanya 9 orang yang mengaku adanya
perbaikan dan 1 orang yang tersisa mengaku tidak ada perbaikan. Dengan
menggunakan uji Chi-square didapatkan P-value = 0,01 (P<0,05).
4.2. Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil
nilai P = 0,01 (p<0,050). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara pemberian terapi hiperbarik oksigen pada perbaikan klinis
pasien tinnitus.
Perawatan
medis untuk tinnitus didokumentasikan dengan baik dan mungkin tidak ada penyakit
lain yang seperti ini dengan berbagai perawatan telah diusulkan. Namun, sampai
hari ini, banyak regimen pengobatan yang berbeda sedang disebarkan.
Vasodilator, vitamin, steroid, antikoagulan, heparin, histamin, obat penenang,
diuretik, prostasiklin, dan carbogen. Namun baik diterapkan secara terpisah
atau bersama-sama, semua telah menunjukkan efektivitas yang terbatas.
Sejak
akhir tahun 1960-an, terapi oksigen hiperbarik (HBO2) telah
digunakan secara eksperimental untuk penyakit akut dan kronis tertentu dari
telinga bagian dalam. Peran HBO2 dalam pengobatan tinnitus yang
diselidiki di masa lalu: Pilgrim et al. pada tahun 1985, pertama, dan Schumann
et al. pada tahun 1990, kedua, melaporkan tentang kegunaan HBO2
dalam pengobatan tinnitus, melaporkan peningkatan dari 62,2% pada tinnitus, 557
pasien setelah menerima 10 aplikasi dari terapi HBO2. Para dokter di
Jerman dan Jepang terus mengenali aplikasi klinis pada penyakit telinga bagian
dalam dan telah menunjukkan hasil yang lebih baik dalam perlakuan trauma akut
akustik, NIHL, dan tinnitus menggunakan terapi HBO2. Alasan untuk
terapi ini didasarkan pada mekanisme transportasi oksigen.9
Karena
kekurangan oksigen tampaknya penting dalam patogenesis tinnitus, oksigenasi
hiperbarik (HBO2) tampaknya menjanjikan untuk meningkatkan tekanan
parsial oksigen (PO2). Pernapasan 100% oksigen pada tekanan ambien
tinggi menyebabkan oksigen larut dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan
PO2 sesuai dengan Hukum Henry. Jumlah setiap gas yang akan larut dalam cairan
pada suhu tertentu adalah fungsi dari tekanan parsial gas dalam kontak dengan
cairan dan koefisien kelarutan gas dalam cairan tertentu.
Kekuatan pendorong untuk difusi oksigen dari kapiler
ke jaringan dapat diperkirakan melalui perbedaan antara tekanan parsial oksigen
di arteri dan vena kapiler. Perbedaan tekanan parsial oksigen dari arteri ke vena
dari sistem kapiler adalah sekitar 37 kali lebih besar saat bernapas 100%
oksigen pada 3,0 ATA dari udara pada 1,0 ATA.11
Koklea
merupakan salah satu organ dengan kebutuhan oksigen tertinggi. Oleh karena itu,
peningkatan PO2 di koklea dan terutama dalam cairan perilymphatic dan
endolymphatic harus memiliki pengaruh yang kuat pada kondisi gangguan metabolik
dari sel-sel sensorik telinga bagian dalam (14). Sel-sel ini kurang memiliki
suplai darah langsung dan suplai oksigen benar-benar tergantung pada difusi (8)
yang meningkat secara paralel dengan PO2 dalam plasma.
Terapi
HBO2 dapat mendukung jaringan dengan perfusi buruk dan hipoksia. Di bawah tekanan
yang tinggi ini, jumlah oksigen yang cukup, bahkan tanpa adanya hemoglobin,
untuk memasok jaringan tubuh dengan oksigen melalui difusi. Dengan peningkatan tekanan
oxygen di telinga bagian dalam, adalah mungkin untuk mempengaruhi sel-sel
pendengaran sensorik (sel-sel rambut dalam dan luar) dan serabut saraf auditoriperifer.
Sel-sel ini tidak memiliki pasokan vaskular langsung dan sepenuhnya bergantung
pada oksigen yang disediakan oleh difusi. Selama paparan HBO2, oksigenasi dalam
koklea meningkat 460- 600% dan masih 60% di atas normal satu jam setelah
penghentian therapy. Peningkatan tekanan oksigen dapat mengkompensasi
kekurangan oksigen dan menimbulkan mekanisme biologis yang dapat memfasilitasi perbaikan
jaringan dan vaskular Selain itu, terapi HBO2 telah terbukti meningkatkan
hemorheology dengan menyebabkan penurunan hematokrit, penurunan agregasi
platelet, dan peningkatan fleksibilitas eritrosit. Hiperoksia juga telah
terbukti mengurangi edema dengan mengurangi permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan vasokonstriksi cepat dan signifikan. 7,8
Menariknya,
pasien dengan tinnitus bernada rendah mendapatkan manfaat yang lebih besar dari
terapi HBO2 daripada mereka yang menderita tinnitus bernada tinggi.
Perbedaannya mencapai tingkat signifikansi. Sama signifikannya pada tingkat
keseluruhan perbaikan pada pasien yang pernah mengalami mengalami tinnitus yang
mendadak dibandingkan dengan onset bertahap. Ini dapat terjadi mungkin karena
dalam kasus dengan onset mendadak memang memiliki proporsi yang lebih tinggi
dengan patologi yang jelas terkait dengan hipoksia di telinga bagian dalam, yang
dapat diobati dengan HBO2. Selain itu, pasien yang menderita tinnitus tiba-tiba
lebih mungkin untuk berkonsultasi dengan dokter lebih segera dan memperpendek waktu interval antara onset
penyakit dan pengobatan HBO2, dibandingkan dengan pasien yang menderita
tinnitus onset bertahap.
Dalam
sebuah studi dikatakan dapat dicapai remisi lengkap sebesar 3,3% yang ditemukan
pada mereka yang memulai pengobatan dalam waktu 14 hari setelah onset penyakit.
Meskipun asosiasi remisi lengkap dengan faktor ini bermakna secara statistik,
itu menyoroti kemungkinan bahwa ini adalah remisi spontan. Pada interval
pre-treatment lebih lama dari 14 hari, respons lengkap ditemukan hanya pada 2
pasien, sedangkan 46,1% dari untuk tingkat keberhasilan yang tinggi dalam
pengobatan plasebo. Tingginya angka perbaikan tinnitus dengan pengobatan
plasebo diduga karena adanya fakta bahwa paisen-pasien dengan tinnitus sering
memiliki gangguan neuropsikiatrik seperti ansietas, depresi, dan insomnia.10
Banyak
laporan menunjukkan efektivitas terapi HBO2 untuk tinnitus, namun mayoritas
dari mereka adalah retrospektif dan banyak yang menyarankan menggunakan HBO2
sebagai adjuvant untuk perawatan medis standar. Meskipun demikian, hasil
membenarkan bahwa pasien dengan tinnitus, yang telah dirawat secara
konvensional, mungkin masih memiliki kesempatan perbaikan kondisi mereka ketika
mereka dapat diberikan terapi HBO2 dalam waktu tiga sampai enam bulan.
Penelitian-penelitian ini telah menunjukkan bahwa pengobatan hiperbarik oksigenasi
dapat menekan tinnitus akut dan bahkan tinnitus yang sudah lebih lama ada.
Tampaknya bahwa selama enam bulan pertama, terapi HBO2 memiliki efek
positif dan menjanjikan di tinnitus. Namun, perbaikan signifikan pada tinnitus
adalah penting ketika terapi HBO2 diberikan dalam tiga bulan pertama pada tekanan antara 2,0 dan 2,5
ATA. 11,12
BAB
IV
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasi penelitian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Tinitus
memiliki efek yang signifikan terhadap kualitas hidup penderita. Tinitus dapat
disertai dengan depresi, kecemasan, insomnia, dan sakit kepala Beberapa
penderita juga menjadi mudah tersinggung.
2.
Perawatan medis untuk
tinnitus didokumentasikan dengan baik dan mungkin tidak ada penyakit lain yang
seperti ini dengan berbagai perawatan telah diusulkan. Namun, sampai hari ini,
banyak regimen pengobatan yang berbeda sedang disebarkan. Terapi dengan HBO2
saat ini sudah banyak diterapkan.
3.
Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien tinnitus yang menjalani terapi
oksigen hiperbarik selama periode Januari 2015- Agustus 2017 di RSAL Dr.F.X
Suhardjo adalah sebanyak 10 orang.
4. Dari Penelitian ini didapatkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian terapi oksigen hiperbarik
dengan perbaikan kualitas pendengaran pasien tinnitus.
5.2. Saran
·
Mengingat
manfaat Hiperbarik Oksigen, diharapkan pada tenaga kesehatan yang bekerja pada
rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas HBO agar dapat memberikan
penjelasan kepada masyarakat terkait manfaat HBO pada penyakit gangguan
pendengaran.
·
Dengan
Penelitian ini diharapkan agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
ada tidaknya faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan pasien tinnitus.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soepardi
EA, Iskandar I, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008
2. Møller AR, Langguth B, DeRidder D, Kleinjung T. Textbook of tinnitus:
Springer Science & Business Media; 2010
3.
Hain TC.
Tinnitus. http://www.dizziness-and-balance.com/disorders/hearing/tinnitus.htm. Diakses pada Juli 30 2009
4.
Levine RA, editor
Diagnostic issues in tinnitus: a neuro-otological perspective. Seminars in
Hearing; 2001: Citeseer.
5.
Seidman MD, Babu S.
Alternative medications and other treatments for tinnitus: facts from fiction.
Otolaryngologic Clinics of North America. 2003;36(2):359-81
6. Gill AL, Bell CNA. Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and
outcomes. Qjm. 2004;97(7):385-95.
7.
Sadasivan S., et al.
Hyperbaric oxygen therapy. Available at: http://www.moh.gov.my/attachments/6369.pdf. Accesed on April 4th, 2014
8.
Ustad F, Ali FM,
Ustad T, Aher V, Suryavanshi H. hyperbaric oxygen therapy, HBO, uses of HBO.
Uses of hyperbaric oxygen therapy: a review. 2012(293).
9.
Jain KK. Textbook of
hyperbaric medicine: Hogrefe Publishing; 2009.
10. Bennett MH, Kertesz T, Perleth M, Yeung P. Hyperbaric oxygen for
idiopathic sudden sensorineural hearing loss and tinnitus. The Cochrane
Library. 2007
11. Baldwin TM. Tinnitus, a military epidemic: is hyperbaric oxygen
therapy the answer? Journal of special operations medicine: a peer reviewed
journal for SOF medical professionals. 2008;9(3):33-43.
12. Stiegler P, Matzi V, Lipp C, Kontaxis A, Klemen H, Walch C, et al.
Hyperbaric oxygen (HBO2) in tinnitus: influence of psychological factors on
treatment results? 2006.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar