Jumat, 13 Mei 2016

HUBUNGAN PEMBERIAN TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN DENGAN PERBAIKAN KLINIS PASIEN DECOMPRESSION SICKNESS TIPE I DI RSAL DR.F.X SUHARDJO PERIODE JANUARI 2011 - FEBRUARI 2016

 








Makalah dibuat
sebagai persyaratan untuk
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh :
Sitti Nurjanna Usemahu, S.Ked (2009-83-012)


Pembimbing:
LetkolLaut (K) Dr. Hisnindarsyah, SE.,M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan luas wilayah terbesar adalah laut. Kondisi inilah yang menyebabkan banyak dari penduduk di daerah ini memanfaatkan laut sebagai sarana mata pencaharian dan sarana olahraga. Dalam hal ini mata pencaharian dan olahraga yaitu menyelam. Banyak sekali penyelaman yang dilakukan dimana diantara mereka ada yang merupakan penyelam professional, penyelam dengan kompressor konvensional (penyelam mutiara, nelayan penyelam ikan), penyelam militer dan penyelam tahan nafas (breath Hold Diving).1
Penyelam pada umumnya merupakan penyelam tradisional yang tidak dibekali pengetahuan tentang penyelaman dan akibat-akibatnya sehingga bila terjadi penyakit dekompresi baik yang ringan maupun yang berat dianggap suatu kecelakaan biasa dan tidak tahu bahwa harus dirujuk ke fasilitas Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) untuk dilakukan terapi OHB.2
Penyakit Dekompresi (DCS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelembung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya. Penyakit Dekompresi bukan penyakit akibat kerja yang umum. Namun, dapat terjadi pada penyelam rekreasi scuba, penyelam komersial, dan pekerja lain yang menggunakan udara terkompresi. Angka kejadian penyakit dekompresi di Amerika Serikat untuk tipe II (berat) yaitu 2,28 kasus per 10,000 penyelaman. Sementara kasus tipe I (ringan) tidak diketahui karena banyak penyelam yang tidak mencari pengobatan. 3,4
Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr.F.X Suhardjo merupakan rumah sakit TNI-AL di Provinsi Maluku yang merupakan satu-satunya rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT) untuk terapi oksigen Hiperbarik. Dengan adanya fasilitas ini sudah banyak sekali kasus yang diterapi dengan Hiperbarik oksigen termasuk penyakit akibat menyelam yaitu penyakit dekompresi. Namun sampai saat ini masih banyak penduduk yang belum mengetahui akan peran dari HBOT ini.
Berdasarkan latar belakang diatas, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji apakah ada hubungan penggunaan terapi oksigen Hiperbarik pada perbaikan klinis pasien dekompresi Tipe I ?

1.2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui “adakah hubungan pemberian terapi oksigen hiperbarik pada perbaikan klinis pasien Decompression Sicknness (DCS) tipe I di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr. F.X. Suhardjo Halong Ambon Periode Januari 2011-Februari 2016 ?

1.3.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah hubungan pemberian terapi oksigen hiperbarik pada perbaikan klinis pasien Decompression Sickness tipe I.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1.    Penyakit Dekompresi
2.1.1.   Defenisi
          Penyakit Dekompresi (DCS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelmbung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya.3,5,6,7
2.1.2.   Sejarah
Penyakit Dekompresi pertama kali ditemukan oleh Triger di Perancis tahun 1843 yaitu pada pekerja tambang batu bara. Tahun 1854, Pol dan Watelle memperhatikan bahwa gejala penyakit tersebut akan hilang bila dikembalikan pada lingkungan semula. Tahun 1872, Friedburg menyatakan bahwa gejala tersebut adalah akibat adanya gelembung gas dalam jaringan.3
Tahun 1878, Paulbert menemukan bahwa gelembung gas dalam jaringan tubuh tadi adalah Nitrogen. Tahun 1908, Boycot dan Damant menyatakan bahwa binatang yang gemuk lebih mudah karena penyakit Caisson dari pada binatang yang kurus, karena lemak merupakan jaringan yang bersifar reservoir untuk nitrogen dan nitrogen sendiri 5 kali lebih mudah larut dalam minyak dari pada dalam air.3
Tahun 1937, Swindle dan End menemukan bahwa ada perubahan-perubahan biokimia yang tidak dikenal pada trauma akibat pengembangan gelembung-gelembung gas yang menyebabkan agregasi trombosit dan aglutinasi.3
2.1.3.   Patogenesis
Sesuai dengan Hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu tertentu, jumlah gas terlarut dalam suatu cairan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut diatas cairan, maka pada saat seseorang menyelam, tekanan parsial nitrogen yang dihirupnya akan bertambah dan akan lebih banyak gas yang terlarut dalam darah maupun jaringan.5
Oleh karena darah yang kelebihan nitrogen ini akan di distribusikan kejaringan-jaringan sesuai dengan kecepatan aliran darah ke jaringan tersebut dan daya gabung jaringan terhadap nitrogen. Dalam hal ini lemak mempunyai daya gabung nitrogen yang tinggi dan melarutkannya lima kali lebih banyak daripada air.3
Tingkat saturasi nitrogen dalam berbagai jaringan berbeda-beda tergantung percepatan pertukaran nitrogen. Sebagai contoh darah supersaturasinya cepat (jaringan cepat), sedangkan sumsum tulang dan sendi supersaturasinya lambat (jaringan lambat).3
Adapun faktor yang menentukan pengambilan dan pembuangan gas adalah kecepatan difusi gas darah ke jaringan, fungsi ambilan gas jaringan secara perfusi, waktu penuh jaringan dan keadaan saturasi. Hal ini perlu untuk mengetahui bentuk klinis dan penyakit dekompresi yang mungkin timbul.3
Kondisi supersaturasi gas dalam darah dan jaringan sampai batas tertentu masih memungkinkan gas untuk berdifusi keluar dari jaringan dan larut dalam darah, kemudian menuju ke alveoli keluar melalui pernafasan.3
Setelah melewati suatu batas kritis tertentu, kondisi supersaturasi akan menyebabkan gas terlepas lebih cepat dari jaringan atau darah dalam bentuk tidak larut, yaitu berupa gelembung gas. 3
Pada saat penyelam mulai naik, tekanan gas mulai turun, terjadi proses desaturasi yang merupakan kebalikan proses saturasi. Saat itu terjadi juga pelepasan gas inert dari darah kembali kedalam paru, karena tekanan parsial gas inert dalam paru-paru lebih rendah daripada darah.3
Proses ini berlangsung beberapa menit sampai 24 jam atau lebih tergantung tingkat supersaturasi masing-masing jaringan. Jika tekanan parsial gas dalam jaringan tubuh yang mengalami dekompresi dibiarkan melebihi tekanan sekitarnya akan timbul gelembung gas inert dalam jaringan.3
Pembentukan gelembung ini dipercepat dengan adanya exercise. Sekali gelembung terbentuk akan makin membesar karena bertambah banyaknya gas inert yang masuk dari jaringan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Hukum Boyle yang menyatakan hubungan antara tekanan dan volume dari kumpulan gas akan berbanding terbalik dengan tekanan absolut.3,5.6
Teori inti gelembung menyatakan bahwa penurunan tekanan akan diikuti pembesaran jari-jari lingkaran gelembung. Gelembung gas yang besar mempunyai tegangan permukaan yang kecil karena makin besar jari-jari gelembung gas makin kecil tegangan permukaannya.3,6
Cara menyelam mempengaruhi tempat pembentukan gelembung gas inert dan timbulnya penyakit dekompresi. Menyelam dalam waktu singkat dan dalam akan menghasilkan beban gas inert yang tinggi pada jaringan cepat, tetapi tidak cukup waktu untuk jaringan lambat. Sedangkan menyelam dalam dan waktu lama ditempat yang dangkal akan memberikan beban gas inert pada jaringan lambat.3
Jumlah yang sama akan terjadi pada jaringan cepat, namun karena perbedaan tekanan antara kedalaman dan permukaan air tidak begitu besar, darah mungkin akan mentolerir kelebihan nitrogen tersebut sampai dapat dikeluarkan melalui paru-paru.3
2.1.4.   Gambaran Klinis
Penyakit ini dibagi berdasarkan waktu timbulnya gejala dan tipe gejalanya.3
1.    Berdasarkan waktu timbulnya, DCS dapat timbul secara :
a.    Akut : Adanya kelainan neurologis (68 %), Adanya kelainan osteoartikuler (29 %), Adanya kelainan pernapasan (3 %)
b.    Kronis yaitu Dysbaric Osteonecrosis (Aseptic osteonecrosis)

2.    Berdasarkan Tipe gejala, DCS dibagi dalam 2 tipe yaitu : 3,7,8,9
a.    Tipe I (Pain Only Bends)
Gejala utamanya adalah nyeri, terutama di daerah persendian dan otot disekitarnya, dapat timbul mendadak setelah penyelaman atau perlahan-lahan. Selain itu dapat timbul kemerahan di kulit, gatal serta pembengkakan di sekitar sendi. Paling sering terkena adalah sendi bahu, kemudian sebagian pada persendian siku, pergelangan tangan, sendi lutut dan pergelangan kaki. Nyeri biasanya menyerang dua sendi atau lebih tetapi jarang simetris.3,7,8.9
b.    Tipe II (Serious Decompression Sickness)
Merupakan penyakit dekompresi yang serius menyerang sistem saraf pusat dan kardiopulmoner.
Gejala-gejala klinis antara lain :
-       Gejala-gejala neurologis : Gejala ini muncul sangat tergantung pada bagian otak mana yang tekena. Gejalanya dapat berupa :, Kesulitan bicara, tremor, vertigo, tinnitus, dan lain-lain.
-       Gejala paru dan jantung : sesak nafas, nyeri dada, batuk- batuk non produktif
-       Gejala Gastrointestinal : Mual, muntah, kejang usus dan diare
-       Gejala di kulit : bercak kebiruan, gatal-gatal pada Tipe I.
-       Bends Shock
2.1.5.   Penatalaksanaan 3
Tujuan pengobatan penyakit dekompresi adalah melawan efek hipoksia pada jaringan. Pada prinsipnya merupakan gabungan tiga tingkatan yaitu :
1.    Pengobatan kedaruratan di tempat kejadian
a.    Anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan teliti dan cepat untuk menentukan diagnosa.
b.    Pemberian oksigen 100 %
c.    Bila jauh dari fasilitas RUBT sementara dapat dilakukan rekompresi dalam air sedalam 9 meter dengan pemberian oksigen 100 % lewat full face mask selama 30 menit, jika ada perbaikan dapat diteruskan sampai 90 menit. Kecepatan naik 1 meter setiap 12 menit. Apabila cara ini tidak berhasil penderita segera dirujuk ke pusat RUBT terdekat.
2.    Pengobatan kedaruratan pada waktu evakuasi
a.    Inhalasi oksigen 100 %
b.    Pemberian obat-obatan suportif dan rehidrasi
c.    Segera menghubungi fasilitas RUBT terdekat
d.    Transportasi sebaiknya lewat darat, tetapi bila jarak terlalu jauh maka di evakuasi dengan helikopter ketinggian yang ditempuh 240-300 meter di atas permukaan air.
3.    Pengobatan di fasilitas RUBT
a.    Rekompresi dan terapi OHB yang bertujuan :
-       Mengurangi petumbuhan gelembung gas inert
-       Memudahkan pembersihan/pembuangan gas inert
-       Mengatasi iskemik dan hipoksia pada jaringan yang terkena.

2.2. Terapi Hiperbarik Oksigen
2.2.1. Defenisi6
Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada awalnya, terapi hiperbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh baik di dalam sel maupun di luar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan di setiap organ di dalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit, beberapa diantaranya seperti stroke, multipel sclerosis, edema cerebral, keracunan karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertututp, gas gangren, neuropati perifer, osteomielitis, sindroma kompartemen, diabetik neuropati, migran, infark miokard dan lain-lain. Hiperbarik oksigen adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (atmosfer absolut). Tidak terdapat definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi bergantung pada kondisi pasien dengan rentang 1 sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida hingga 60 sesi atau lebih untuk lesi diabetik pada kaki.6,10
Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda. Pertama, bernafas dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber) yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke jaringan. Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada saturasi hemoglobin.6,10
Kedua, dibawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma jauh lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya, menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer.3
Hasil tekanan dalam peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam plasma. Itu adalah konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam total tidak adanya hemoglobin.1,11,12
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%) kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80% nya adalah nitrogen. Pada TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen ke dalam darah serta jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali lebih tinggi dari normal.6
Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh darah baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.3,6
2.2.2. Indikasi 6
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
-     Penyakit Dekompresi
-     Emboli udara
-     Luka bakar
-     Crush Injury
-     Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
-     Gas gangren
-     Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
-     Eritema nodosum
-     Osteomyelitis
-     Buerger’ s diseases
-     Morbus Hansen
-     Psoriasis vulgaris
-     Edema serebral
-     Scleroderma
-     Lupus eritematosus (SLE)
-     Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
-     Pelayanan kesehatan dan kebugaran
-     Pelayanan kesehatan olahraga
-     Pasien lanjut usia (geriatri)
-     Dermatologi dan kecantikan
2.2.3. Kontraindikasi 6
Kontraindikasi TOHB terdiri dari kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani. Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik lebih dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis, Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi C O2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.
2.2.4. Persiapan6
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
-       Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
-       Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik antara lain vitamin C, morfin dan alkohol.
-       Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum, kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
-       Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum, salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen hiperbarik.
-       Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik silinder di ruang hiperbarik.
-       Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan potensi gelembung antara lensa dan kornea.
-       Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan kebakaran.
-       Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. E valuasi mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
-       Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien.
-       Pasien umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari keracunan oksigen pada pasien.
-       Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
-       Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
-       Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi gas atau minum sebelum perawatan.


























BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


3.1.    Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Chamber Hiperbarik Oksigen Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) F.X. Suhardjo pada bulan Maret 2016.

3.2.    Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Deskriptif Analitik. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder. Yaitu berupa catatan rekam medis pasien DCS Tipe I yang mengggunakan terapi hipebarik di RSAL F.X. Suhardjo Ambon pada Januari 2011- Februari 2016.

3.3.    Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik pada januari 2011-Februari 2016. Teknik pengambilan sampel yaitu total sampling yaitu semua pasien DCS Tipe I yang menjalani terapi HBO pada januari 2011-Februari 2016 yaitu sebanyak 30 pasien.

3.4.    Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien DCS tipe I yang menjalani dengan berbagai sesi terapi hiperbarik Oksigen periode januari 2011-Februari 2016. Kriteria Eksklusi adalah pasien yang menjalani Terapi OHB namun bukan pasien DCS Tipe I.

3.5.    Teknik Pemberian Terapi
                        Sistem kerja TOHB, pasien akan dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100 %) kedalam ruang tersebut. Pada TOHB tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan normal dan pasien bernapas dengaan oksigen 100 %. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum menjalani terapi oksigen hiperbarik adalah :6,7
-          Sebelum menjalani terapi, pasien akan dievalulasi untuk memastikan tidak adanya kontraindikasi dilakukannya terapi oksigen hiperbarik.
-          Pasien harus memberitahu obat-obatan yang sedang mereka kosnsumsi , mengingat terdapat obat-obatan tertentu , misalnya obat-obatan jenis steroid dan obat kemoterapi.
-          Pasien akan dimasukkan kedalam ruangan kapal selam yang berukuran kecil selama 2 jam, sehingga penting sekali untuk memastikan pasien tidak memiliki fotofobia.
-          Saat merasa tidak kuat, pasien dapat memberitahukan kepada petugas yang ikut masuk kedalam chamber hieperbarik.

3.6.    Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan yaitu secara komputerisasi dengan Software Packages For Social Sciences (SPSS) for windows SPSS versi 20.0. Analisa yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
a.  Analisa Univariat
Analisa Data secara Univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik dari variabel independen dan variabel dependen. Hasil dari analisis variabel kategorik adalah jumlah dan persen. Penyajian data hasil analisis univariat dalam bentuk tabel disertai deskriptif.
b.    Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hubungan variabel bebas (Pemberian terapi HBO) dengan variabel terikat (Perbaikan Klinis). Analisis ini menggunakan uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan = 0,05.
    Gambar 1. Rumus Chi-Square

Keterangan :
X2      : Nilai Chi-kuadrat
fe       : Frekuensi yang diharapkan
f0       : Frekuensi yang diperoleh/diamati

Interpretasi nilai p yaitu hasil uji statistik menunjukan p < 0,05 maka hipotesis diterima sehingga ada hubungan yang bermakna antara variabel bebas dan variabel terikat dan bila nilai p > 0,05 maka hipotesis ditolak sehingga tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel bebas dan variabel terikat.

















BAB IV
DISKUSI


4.1. Hasil
4.1.1.   Distribusi Pasien yang Menjalani Terapi HBO Berdasarkan Indikasi Kasus
Berdasarkan kajian data diperoleh hasil yakni jumlah pasien yang menjalani terapi Hiperbarik oksigen adalah sebanyak 91 pasien dimana Indikasi Kebugaran merupakan kasus terbanyak yang di terapi dengan HBO yaitu sekitar 43,82% atau 39 orang pasien kemudian diiikuti dengan kasus DCS Tipe I yaitu sebanyak 30 orang (33,71%), Kasus Stroke (6 orang) 6.59%, Diabetes Melitus 5 orang (5.49%), Cephalgia dan DCS Tipe II masing-masing 3 orang (3.30%), Kasus Ulkus DM dan Barotrauma masing-masing sebanyak 2 orang yaitu sekitar 2.20% dan Vertigo yaitu hanya 1 orang (1.10%) dari total seluruh pasien.

Tabel 1. Distribusi Pasien yang menjalani Terapi HBO Berdasarkan Indikasi Kasus
INDIKASI TERAPI
JUMLAH PASIEN
PERSENTASE (%)
Kebugaran
39
42.86
Stroke
6
6.59
Diabetes Mellitus
5
5.49
Ulkus DM
2
2.20
Vertigo
1
1.10
Cephalgia
3
3.30
DCS Tipe I
30
32.97
DCS tipe II
3
3.30
Barotrauma
2
2.20
TOTAL
91
100.00




Grafik 1.
Distribusi Pasien yang menjalani Terapi HBO    Berdasarkan Indikasi Kasus

4.1.2.   Distribusi Keluhan Awal Sebelum Terapi Hiperbarik Oksigen pasien DCS Tipe I

Tabel 2. Distribusi Keluhan Awal Sebelum Terapi HBO pasien DCS Tipe I
Keluhan Awal sebelum HBOT
Jumlah (n)
Persentase (%)
Keram-Keram
4
13.33
Nyeri
4
13.33
Kemerehan pada kulit
2
6.67
Terasa Kaku
5
16.67
Mati Rasa
2
6.67
Gatal-gatal
7
23.33
> 1 Gejala
6
20
TOTAL
30
100.00

   Berdasarkan tabel 2 diatas diperoleh data bahwa keluhan awal yang banyak dikeluhkan pasien DCS Tipe I sebelum dilakukan terapi HBO adalah Gatal-gatal yaitu sebanyak 7 orang (23.33%), diikuti dengan pasien yang menunjukkan >1 Gejala (6 orang) 20%, Terasa kaku 5 orang (16.67%), Nyeri dan Keram-keram masing-masing 4 orang (13.33%), kemerahan pada kulit (2 orang) 6.67% dan keluhan mati rasa 2 orang (6.67%).

Grafik 2. DIstribusi Keluhan Awal Sebelum Terapi HBO pasien DCS Tipe I

4.1.3.   Distribusi Perbaikan Klinis Penderita DCS tipe I Sesudah terapi dengan Hiperbarik Oksigen
Setelah dilakukan terapi dengan Hiperbarik didapatkan bahwa sebanyak 21 pasien DCS Tipe I merasakan keluhan berkurang (70%) dan 9 orang (30%) merasakan tidak ada keluhan (Lihat Tabel dan Grafik 3 dibawah ini).

Tabel 3. Distribusi Perbaikan Klinis Penderita DCS Tipe I Setelah terapi HBO.
Hasil Setelah Terapi HBO
Jumlah (n)
Persentase(%)
Keluhan Berkurang
21
70.00
Tidak Ada Keluhan
9
30.00
TOTAL
30
100.00




Grafik 3. Distribusi Perbaikan Klinis Penderita DCS Tipe I Setelah Terapi HBO

4.1.4.   Hubungan Pemberian Terapi HBO Pada Perbaikan Klinis Pasien DCS Tipe I
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah pasien Dekompresi Tipe I yang menjalani terapi Hiperbarik Oksigen adalah sebanyak 30 pasien dimana setelah dilakukan terapi ditemukan adanya 21 orang yang mengaku keluhannya berkurang dan 9 orang yang tersisa mengaku tidak ada keluhan. Dengan menggunakan uji Chi-square didapatkan P-value = 0,014 (P<0,05).

4.2.    Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil nilai P = 0,014 (p<0,050). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian terapi hiperbarik oksigen pada perbaikan klinis pasien dekompresi tipe I. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hadanny A et all (2015) yang mengemukakan bahwa baik pasien decompression sickness yang mendapatkan terapi rekompresi dengan TOHB lebih awal maupun yang terlambat mendapatkan terapi menunjukkan hasil yaitu 76% yang sembuh sempurna, partial recovery 17.1%, dan tidak mengalami perubahan adalah 6.6% untuk pasien yang terlambat mendapatkan terapi sedangkan pasien yang mendapatkan terapi lebih cepat memiliki hasil yakni 78% sembuh sempurna (complete recovery),15.6% partial recovery dan 6.2% tidak mengalami penyembuhan.10 Hasil ini menunjukkan bahwa sekalipun pasien decompressi sickness terlambat atau lebih cepat mendapatkan terapi rekompresi dengan TOHB memiliki hasil yang sama baiknya.4
Menurut teori TOHB merupakan terapi utama pada pasien-pasien dekompresi baik tipe I maupun tipe II.3 Teori dasar di balik terapi Oksigen Hiperbarik pada penderita DCS ini adalah, pertama, untuk repressurize pasien untuk mengembalikan kedalaman di mana gelembung dari nitrogen atau udara yang dilarutkan ke dalam jaringan dan cairan tubuh. Pasien akan menghirup oksigen konsentrasi tinggi secara intermiten, diharapkan dapat terbentuk gradien difusi yang lebih besar. Kemudian, pasien akan dibawa kembali menuju permukaan secara perlahan-lahan. Keadaan ini memungkinkan gas untuk berdifusi secara bertahap keluar dari paru-paru dan tubuh. Penambahan helium dengan oksigen telah terbukti menghasilkan keuntungan bila dibandingkan dengan oksigen saja bahkan dalam DCS neurologis berat atau refractory DCS.4,7,8
Terapi yang dapat diberikan pada pasien dengaan dekompresi berpatokan pada tabel-tabel dibawah ini :8.10
Tabel. 4. Treatment Tabel 5 8,10
Indikasi :8
-     Gejala Tipe I DCS (kecuali untuk Cutis marmorata) saat pemeriksaan neurologis lengkap tidak menunjukkan adanya kelainan. Setelah tiba di kedalaman 60 kaki pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada neurologis gejala terbuka (misalnya, kelemahan, mati rasa, kehilangan koordinasi) yang hadir.
-     Asymptomatic omitted decompression
-     Pengbatan gejala-gejala yang ada diikuti dengan rekompresi dalam air
-     Follow-up trreatment untuk sisa-sisa gejala
-     Keracunan gas monoksida
-     Gas Gangren
Tabel 5. Treatment Tabel 68

Indikasi :8
-        Arterial gas embolism
-        Gejala-gejala DCS Tipe 2
-        DCS Tipe 1 dimana gejala tidak dapat hilang dalam waktu 10 menit pada kedalaman 60 kaki atau nyeri yang parah dan harus segera dilakukan rekompresi tanpa dilakukan pemeriksaan neurologis terlebih dahulu
-        Cutis marmorata
-        Keracunan gas CO berat, sianida dan inhalasi asap rokok
-        Asymptomatic omitted decompression
-        Symptomatic uncontrolled ascent

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Penyakit Dekompresi merupakan Suatu penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan mengembangnya gelmbung gas dari fase larut dalam darah atau jaringan akibat penurunan tekanan disekitarnya.
2.      Penyakit Dekompresi diklasifikasikan menjadi DCS Tipe I dan DCS Tipe II.
3.      Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik selama periode Januari 2011- Februari 2016 di RSAL Dr.F.X Suhardjo adalah sebanyak 91 orang dengan total pasien DCS Tipe I yang menjalani terapi Hiperbarik Oksigen adalah sebanyak 30 orang yaitu sekitar 33.71%.
4.      Dari Penelitian ini didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian terapi oksigen hiperbarik dengan perbaikan klinis pasien DCS Tipe I.

5.2. Saran
-  Mengingat manfaat Hiperbarik Oksigen, diharapkan pada tenaga kesehatan yang bekerja pada rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas HBO agar dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait manfaat HBO dalam hal penanganan kasus-kasus yang diakibatkan oleh penyelaman.
-  Dengan Penelitian ini diharapkan agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terkait ada tidaknya faktor yang berpengaruh terhadap kesembuhan pasien dekompresi.
DAFTAR PUSTAKA

1.    Amir, D P, Wahyu A, Wahyuni A. Faktor yang berhubungan dengan Penyakit Dekompresi pada Penyelam Tradisional di Pulau Lae-Lae.2010
2.    Gempp E, Blatteau J E. Risk Factor and treatment outcome in scuba divers with spinal cord decompression sickness. Journal of Critical Care. Journal of Critical care.2009
3.    Anonim. Simposium Hiperbarik Oksigen.2000
4.    Hadanny A, Fishlev G, Bechor Y, Bergan J et all. Research Article:  Delayed Recompression for Decompression Sickness; Retrospective Analysis. 2015
5.    Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedpkteran. 2005
6.    Huda N. Tesis Pengaruh Hiperbarik Oksigen (HBO) terhadap perfusi perifer luka gangrene pada penderita DM DI RSAL Dr. Ramelan Surabaya. FK UI. 2010
7.    Sukmajaya, Ali. Faktor yang berhubungan dengan penyakit dekompresi pada penyelam professional dan penyelam tradisional di Gili Matra Kab. Lombok Utara Provinsi NTB.2010
8.    U.S. Navy Diving Manual. Diagnosis and treatment of Decompression Sickness and Arterial Gas Embolism. Chapter 20.
9.    Vann R D, Denoble P J, Howle L E, Weber P W et all. Resolution and Severity in Decompression Illness. Aviation, Space and Enviromental Medicine. Volume 80, No.5, Section I.2009
10. Prasetyo A T, Soemantri J B, Lukmantya. Pengaruh kedalaman dan lama menyelam terhadap ambang-dengar penyelam tradisional dengan barotraumas telinga. ORLI Vol.42 No.2. 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar